Syariat Islam merupakan pengejawantahan dari akidah islamiyah. Akidah mengajarkan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Pada prinsipnya, tujuan syariat islam yang dijabarkan secara rinci oleh para ulama dalam ajaran fiqh adalah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat, dan bernegara.
Syariat, selain sebagai sistem yang telah diturunkan secara ilahiah, ia juga harus diingat sebagai produk sejarah, yang tentunya bersifat insaniyah (manusiawi). Dengan memandangnya sebagai produk sejarah, kita akan memaklumi bahwa syariat adalah produk yang tidak statis. Oleh para ulama salaf, syariat seringkali diterjemahkan secara beragam. Tentu saja, keberagaman hasil terjemahan ini terkait erat dengan kontur budaya, dan tradisi yang sedang dialami oleh syariat itu sendiri. Maka wajar jika syariat Islam kemudian mampu bertahan dalam kondisi seberat apapun dan dalam waktu yang begitu lama.
Di Indonesia, syariat Islam, dalam hal ini fiqh, memiliki peristiwa sejarah tersendiri. Oleh para cendekiawan, fiqh yang menjadi tuntunan hidup masyarakat Indonesia dinilai sebagai hasil dari interaksi, kontekstualisasi, indegenisasi, penerjemahan Islam universal dengan realitas sosial dan budaya Indonesia. Ia lahir dan berkembang dengan bertolak pada pribumisasi Islam yang mengakar dan penghargaan dan keteguhan terhadap tradisi. Ia juga terbangun atas wacana-wacana kelompok yang menginginkan ajaran Islam yang inklusif, yang dapat dijalankan oleh siapapun; dan dialogis, yang memungkinkan masyarakat Indonesia untuk terus mendiskusikannya dengan nyaman, tanpa merasa dikungkung oleh ketatnya aturan ilahiah.
Inilah yang dengan segera dapat dipahami oleh Wali Songo. Dalam menghadapi kebudayaan Nusantara yang sudah sangat tua, kuat dan mapan, Walisongo menyadari bahwa Islam tidak bakal bisa diperkenalkan dengan serta merta dan instan. Berangkat dengan kesadaran mereka bahwa Islam adalah ajaran yang inklusif dan ramah terhadap berbagai kontur budaya, mereka kemudian merumuskan strategi jangka panjang. Mereka mulai mengembangkan pendidikan model dukuh, asrama, dan padepokan dalam bentuk pesantren-pesantren, dan pesulukan-pesulukan. Mereka juga membuka pendidikan bagi masyarakat luas lewat langgar, tajuk, masjid-masjid, dan permainan anak-anak.
Dewasa ini, fiqh yang inklusif dan dialogis, yang menjadi kunci sukses dakwah Wali Songo ini mendapat penolakan dari beberapa kelompok akar rumput. Bagi mereka, fiqh adalah tema ajaran Islam yang ilahiah an sich, hanya Tuhan yang berhak menentukan hukum, dan nir insaniyah, tak boleh ada campur tangan manusia dalam penentuan hukum itu.
Maka yang terjadi berulang kali adalah kekeliruan dalam penanaman ide, yang sayangnya begitu masif disuarakan, bahwa fiqh haruslah dikembalikan kepada dwitunggal sumber ajaran Islam, Al-Quran dan Hadits. Keliru, karena konsep besar ajaran Islam yang diwariskan oleh Nabi Muhammad saw. tidaklah demikian. Beliau dalam berbagai kesempatannya bersama shahabat, menegaskan bahwa ajaran Islam tidaklah eksklusif dan statis. Beliau acapkali merestui tindakan-tindakan shahabatnya yang berangkat dari kreativitas mereka dalam mengawinkan ajaran Ilahiah dengan realitas budaya yang ada.
Karenanya, penanaman logika fiqh berdasarkan pada keramahan ajaran Islam terhadap keragaman budaya, terutama budaya Nusantara, sangat urgen untuk digalakkan. Dengan memahaminya secara komperhensif, fiqh akan ditemukan dapat bersinergi dengan kekayaan tradisi lokal, tanpa harus bertumpang tindih dengan realitas budaya apapun.
LATAR HISTORIS MAHAD ALY AL FALAH
Semenjak Pondok Pesantren Al Falah Ploso didirikan pada tahun 1925 M. oleh KH. Ahmad Djazuli Utsman, kegiatan belajar mengajar dilaksanakan dengan metode pendidikan klasik dengan beberapa sistem pengajian. Antara lain, sorogan, di mana santri membaca kitab pelajaran di hadapan kiai untuk dikoreksi benar-salahnya, dan bandongan, yakni ketika santri menyimak sembari memaknai kitab yang dibacakan oleh sang kiai.
Semakin bertambahnya jumlah santri dan tingkat kemampuan yang berbeda-beda, dengan berbekal restu dari pengasuh, pada tahun 1930 M. Pondok Pesantren Al Falah Ploso mulai menerapkan sistem pendidikan klasikal/madrasah. Sistem ini dinilai telah tepat untuk dijadikan sebagai sistem pendidikan Pondok Pesantren Al Falah Ploso. Secara bertahap, kelas yang ada di dalam pesantren berkembang. Dari mula membangun jenjang Ibtidaiyah, Tsanawiyah, hingga beberapa tahun kemudian memiliki jenjang Musyawirin sebagai jenjang pendidikan tertinggi. Hingga saat ini, Pondok Pesantren Al Falah Ploso dengan lembaga madrasahnya Madrasah Islamiyah Salafiyah Riyadlotul ‘Uqul (MISRIU) memiliki jenjang pendidikan Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyyah.
Dalam perjalanannya, karakter intelektual para santri Pondok Pesantren Al Falah Ploso perlahan terbentuk. Banyak dari mereka yang kemudian menemukan kelebihan dalam mempelajari berbagai bidang keilmuan. Dalam kurun dua dekade terakhir, perlahan terlihat bahwa fan fiqh ternyata mendapat tempat yang besar dalam perhatian dan konsentrasi belajar santri. Memandang fakta ini, para pengasuh kemudian menghendaki para santri agar mendapatkan satu pendidikan khusus, di mana mereka nantinya akan dapat lebih berkonsentrasi dalam mendalami ilmu fiqh secara komprehensif. Maka tepat pada tanggal 19 Juli 2005 M. diselenggarakanlah jenjang pendidikan di atas Aliyah, yakni Ma’had Aly.
Di awal mula lahirnya, Ma’had Aly Al Falah berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Santri yang mengikuti jenjang pendidikan ini, di samping lulusan Aliyah Madrasah Islamiyyah Riyadlotul Uqul (MISRIU), kebanyakan dari mereka juga menjadi menjadi pengurus dan tenaga ajar di Pondok Pesantren Al Falah Ploso.
Setelah beberapa tahun berjalan, jumlah mahasantri perlahan berkurang. Beberapa faktor disinyalir menjadi alasan. Diantaranya adalah ghirah serta himmah santri untuk meneruskan pendidikan ke jenjang ini tidaklah sebesar saat awal mula ide Ma’had Aly ini dicetuskan. Mereka kebanyakan lebih memilih untuk meneruskan di universitas luar dikarenakan ma’had aly belum mendapatkan legalitas dari pemrintah. Di samping itu, tidak sedikit dari mereka yang lebih memilih untuk meneruskan aktivitas pendidikan mereka ke luar negeri. Faktor-faktor inilah yang membuat Ma’had Aly Al Falah Ploso kemudian mulai mengalami penurunan, dan berlangsung hingga permohonan ini diserahkan.
Namun, dalam beberapa waktu terakhir, muncul ide untuk mengoperasikan serta mengembangkan Ma’had Aly Al Falah Ploso yang salah satu caranya adalah dengan mengajukan legalitas Ma’had Aly Al Falah Ploso. Hal ini didukung oleh beberapa hal. Pertama, para pengasuh dan keluarga besar Pondok Pesantren Al Falah Ploso melihat fakta bahwa jumlah santri yang menimba ilmu di Al Falah Ploso meningkat dengan pesat. Kedua, adanya keputusan Dewan Masyayikh Al Falah Ploso tentang kewajiban berkhidmah minimal satu tahun bagi santri yang baru menyelesaikan jenjang pendidikan Aliyah. Dengan program baru berupa kewajiban berkhidmah ini, para santri secara otomatis menunda kehendaknya untuk boyong, baik pulang ke rumah ataupun menikah. Mereka, dalam kalimat sederhana, diharuskan untuk sejenak menularkan ilmunya pada adik-adik kelasnya.
Setelah berjalan dua tahun, program wajib berkhidmah ini ternyata memberikan dampak positif yang luar biasa. Lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan Pondok Pesantren Al Falah Ploso tidak lagi mengeluh karena kekurangan tenaga pengajar. Beberapa badan kepengurusan dalam pondok pun ikut terbantu dengan bertambahnya anggota.
Di sinilah kemudian kebutuhan akan jenjang ma’had aly mengemuka. Para santri yang masih harus menjalani masa wajib khidmah di pesantren merasa bahwa mereka membutuhkan pengalaman untuk menikmati jenjang pendidikan yang lebih tinggi sebagai tingkat lanjutan pendidikan mereka setelah Aliyah. Kebutuhan ini juga didukung oleh kesadaran mereka akan pentingnya meng-upgrade tingkat intelektualitas mereka dengan mendalami ilmu fiqh sebagai konsentrasi utama Pondok Pesantren Al Falah Ploso, tentunya dengan tenaga pengajar yang lebih mumpuni dan berkompeten.
Di sinilah kebutuhan akan kembali beroperasinya Ma’had Aly Al Falah semakin terasa. Maka pada tanggal 18 Juni 2018 M., dibentuklah sebuah tim khusus sebagai perwujudan keseriusan pengasuh dan dzuriyah untuk mengaktifkan kembali ma’had aly ini. Mereka ditugaskan merumuskan kembali formula yang tepat untuk mengembangkan Ma’had Aly agar lebih terarah, terorganisir, dan terkelola dengan baik. Di tahapan selanjutnya, tim ini pula yang kemudian bekerja keras untuk menyediakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Ma’had Aly. Mulai dari gedung sebagai ruang perkuliahan, asrama santri yang memadai, tenaga pengajar yang mumpuni dan segala sesuatu yang mendukung terciptanya situasi dan keadaan yang kondusif dalam memberikan pelayanan yang terbaik untuk mahasantri.
Ilmiah Amaliyah, Amaliyah Ilmiah